Belajar Dari Buku "Keajaiban Toko Kelontong Namiya"

Di salah satu hari di bulan Oktober kemarin, lengkap 28 kali putaran aku mengorbit matahari bersama bumi. Geng teman SMA ku punya tradisi untuk mengabulkan wishlist di hari kelahiran. Seperti tahun kemarin, tahun ini aku kembali meminta sepasang sepatu dan sebuah buku. Kali ini buku yang kuminta adalah sebuah buku terkenal yang sudah sering muncul di timeline Goodreads-ku. Keajaiban Toko Kelontong Namiya, begitu judul novel yang dikarang oleh Keigo Higashino ini. Aku menyelesaikan buku berjumlah 398 halaman ini dalam waktu 3 hari. 

Seperti yang tertulis di sampul belakang novel, mengisahkan tentang tiga orang pencuri muda yang bersembunyi di sebuah toko kelontong bobrok . Ternyata mereka memasuki rumah itu di suatu tanggal ajaib yang membuat surat-surat dari masa lalu sampai ke toko tersebut di masa sekarang. Mereka pun mulai membalas surat surat yang ditujukan kepada kakek penjaga toko yang hidupnya didedikasikan untuk memberikan nasehat kepada orang-orang yang memintanya. Aku suka gaya penulisan surat balasan dari ketiga pencuri tersebut, sangat realistis, kadang frustrasi, namun selalu berusaha membantu semaksimal yang mampu mereka pikirkan.

Pada surat pertama, pengirim yang merupakan seorang atlet anggar yang sedang berlatih keras agar terpilih menjadi wakil Jepang dalam Olimpiade, bimbang ketika pacarnya jatuh sakit dan umurnya tidak akan lama lagi. Si Atlet tidak mampu untuk fokus berlatih disaat pacarnya terbaring sekarat, namun  menyerah pada anggar untuk menemani sisa hidup pacarnya pun tak mampu dia lakukan sebab menjadi wakil dalam olimpiade pun juga adalah cita-cita pacarnya (yang ternyata adalah mantan pelatihnya). Melalui suratnya, ketiga pencuri berusaha meyakinkan si atlet untuk menyerah menjadi wakil dalam olimpiade dan fokus menemani hari-hari akhir pacarnya. Hal ini bukan tanpa alasan, ketiga pencuri sudah mengetahui bahwa Jepang memboikot olimpiade tersebut sehingga tidak mengirimkan perwakilannya. Namun di luar dugaan, semakin besar tekanan dalam surat balasan untuk berhenti di anggar, si atlet memahami nya sebagai ujian baginya apakah dia benar-benar bersungguh sungguh dalam mengejar cita-citanya. 

Mengapa bisa demikian ? Ternyata si atlet tak sepenuhnya jujur ketika menulis suratnya. Saat itu dia dalam keadaan kewalahan karena latihan yang harus dijalaninya sungguh berat dan dia merasa tidak mampu lagi. Ketika mendengar pacarnya sakit, dia semacam menemukan "alibi" untuk bisa berhenti dan menghindar dari latihan-latihan yang sangat berat tersebut. Namun dia tak berani memutuskan untuk langsung berhenti. Dia butuh validasi dari orang lain. Dan melalui surat-suratnya ke Toko Kelontong Namiya-lah dia mencari pembenaran akan keputusannya . Sebuah alasan untuk menutupi  kepengecutan dalam hatinya.... 

Namun ketika membaca saran-saran dari Toko Namiya (yang ditulis oleh ketiga pencuri), justru di sini lah dia merasa tertampar dan menyesali ketidaktulusannya apabila dia berhenti berlatih untuk menemani pacarnya. Dia mengartikan bahwa apa dorongan untuk berhenti justru adalah ujian bagi kegigihannya dalam meraih cita-cita sesungguhnya.. Salah satu kutipan surat si atlet yang saya highlight "Bagiku, membuang cita-cita demi orang yang dicintai lebih menyakitkan daripada kematian".

Sejujurnya aku sedang mencurigai situasiku yang sepertinya mirip dengan si atlet, bedanya, sepertinya aku adalah tipe yang bisa membuang cita-citaku.. eheheh
Pada akhirnya, walaupun si atlet tidak terpilih sebagai wakil olimpiade (yang tidak diikuti Jepang itu), dia tetap bahagia karena telah berjuang sebaik mungkin..

Barangkali ada banyak bentuk happy ending bagi orang-orang yang tidak mengkhianati cita-cita dalam hatinya..

Aku tidak akan meringkaskan semua. Jadi cerita selanjutnya yang kupilih adalah permintaan saran dari seorang anak yang ingin mengetahui apakah sebaiknya dia mengikuti orangtuanya untuk kabur dari rumah dalam rangka menghindari hutang, atau memisahkan diri dari orangtuanya. Pada awalnya, anak tersebut menuruti nasehat Kakek Namiya yang menyarankan untuk tetap bersama orangtuanya. Namun di tengah perjalanan, anak itu memutuskan untuk memisahkan diri. Pada akhir cerita diketahui bahwa orangtua si anak bunuh diri dan membuat surat pengakuan palsu yang menerangkan bahwa sang ayah turut membunuh putera mereka agar sang anak bisa hidup nyaman dalam samarannya. Ketika mengetahui hal ini, si anak menyesal tidak mengikuti saran dari Kakek Namiya.. Saat memutuskan memisahkan diri, keadaan emosi si anak sedang dalam keadaan terguncang karena keadaan keluarga yang berubah drastis, rentetan sikap ayahnya yang menyebalkan, dan juga bubarnya The Beatles, band yang sangat disukainya, sehingga ketika ada trigger yang nampaknya sederhana, ini membuat si anak tidak mampu menuruti logikanya. Pelajaran yang bisa diambil adalah, jangan mengambil keputusan ketika sedang marah(emosi). Kita mengakui berbagai macam perasaan yang kita rasakan, tetapi bukan berarti membenarkan berbagai perilaku yang timbul akibat berbagai macam perasaan itu. Seperti itulah kira-kia tulisan yang sering saya lihat di media sosial hehehehe

Akhir cerita kasus ini,  ketika si anak sudah berdamai dengan situasinya, dinarasikan bahwa ketika si anak (yang sudah dewasa) menonton kembali adegan dalam film Let it be (yang pada saat remaja dulu dia tonton), si anak mendapatkan kesan yang berbeda. Dulu dia menganggap para anggota The Beatles sudah tampak tak memiliki ikatan lagi dan tampak bermain asal-asalan. Betapa rapuh ikatan hati antar manusia, begitu pikirnya dulu. Namun sekarang justru sebaliknya. Dia bisa melihat para anggota The Beatles sangat bersungguh sungguh dan menikmati. " Bisa jadi waktu menonton di Bioskop dulu Kosuke menganggap penampilan mereka sangat buruk karena pengalamannya sendiri yang menyakitkan. Saat itu ia sudah tak percaya bahwa hubungan-hubungan bisa dipertahankan." Betapa jelas maksud penulis bahwa penilaian kita terhadap sesuatu sangat kuat dipengaruhi oleh pengalaman yang kita alami.

Masih ada beberapa cerita lain tapi aku hanya akan menuliskan dua cerita tersebut karena menurutku cerita itu lah yang paling berkesan. Selain dari cerita hidup penulis surat, hal lain yang dapat saya pelajari adalah persamaan antara Kakek Namiya dan ketiga pencuri yang menemukan kebahagiaan ketika bisa memberikan saran yang diharapkan dapat membantu orang lain. Walaupun membalas surat-surat orang lain terkesan merepotkan dan membuang-buang waktu, kenyataannya itu adalah semangat hidup bagi seorang kakek yang hidup seorang diri  Sedangkan bagi ketiga pencuri muda,  yang menganggap diri mereka sampah yang tidak berharga, bisa membantu orang lain adalah juga bentuk kebahagiaan yang tak pernah mereka sangka. Ketiga pencuri muda tersebut bertekad akan berubah.. Dan ketika sampai di bagian epilog, saya menangis dan menyadari ini adalah salah satu epilog terbaik yang pernah saya jumpai. Sungguh hati yang baik hanya akan mampu berprasangka baik, begitulah yang kupikirkan saat Kakek Namiya yang tetap bersungguh sungguh menulis balasan untuk sebuah kertas kosong yang sejatinya dikirimkan oleh salah satu pencuri tersebut untuk menguji hipotesisnya.. Jawaban untuk kertas kosong tersebut, barangkali adalah jawaban terbaik yang pernah dia tulis..

Dari keseluruhan cerita baik dari sisi penulis surat maupun Kakek Namiya dan ketiga pencuri, yang terpikirkan oleh saya adalah tentang paradigma. Berbagai peristiwa maupun kata-kata yang dibentangkan dunia, pada akhirnya akan diterjemahkan secara individu oleh masing-masing manusia berdasaran kedalaman berpikir dan pengalamannya. Tentang perbedaan maksud antara si atlet dan ketiga pencuri, tentang pemaknaan film Let It Be, nasehat Atsuya pada seorang gadis yang berniat menjadi hostes, balasan surat kosong dari Kakek Namiya.. Semua itu mengingatkanku pada kutipan kalimat dalam buku "Jalan Ke Mekkah" yang ditulis oleh Muhammad Asad berikut :

"Sebab apapun kebenaran yang sebenarnya, dunia hanya mewujudkannya dalam satu bentuk untuk setiap makhluk manusia, sedang perluasan selanjutnya, adalah pencerminannya dalam pikiran kita, dan karenanya masing-masing di antara kita hanyalah melihat "kenyataan" menurut apa yang diwujudkan sendiri."

Dalam hal ini menjadi instropeksi kepada diri, apa saja yang telah aku "masukkan" ke dalam kepala dan hati ku.. karena dari sana lah paradigma ku terhadap dunia akan terbentuk. Mungkin ini reminder yang baik untuk kembali mendengar kajian-kajian Islam , membaca buku buku bermanfaat dan mengurangi memaparkan diri pada hal-hal yang tidak bermanfaat bahkan buruk.

Untuk mengakhiri tulisan ini aku ingin mengutip salah satu dialog Kakek Namiya pada anaknya :

"...Satu satunya alasan nasehatku bisa membantu mereka tidak lain karena niat si pengirim surat sendiri. Seandainya mereka tidak berkeinginan menjalani hidup dengan baik dan tekun, mungkin jawaban apapun yang kuberikan tidak akan ada gunanya bagi mereka."

Sebagai pengingat bahwa pada akhirnya, berubah atau tidaknya hidup kita, bergantung kepada usaha kita sendiri. 

Banyumas, 01 November 2022

Komentar