Sinopsis "Angkatan Baru" Karya Buya HAMKA

Identitas Buku

Judul                           : Angkatan Baru
Pengarang                 : HAMKA
Penerbit                     : Gema Insani
Cetakan                     : 1
Tebal Buku               : X + 90 hlm
Tahun Terbit            : 2016

Ringkasan


Kalau dilihat dari fisiknya, mungkin ini adalah novel ter-ringkas yang pernah saya baca. Bayangkan hanya 90 halaman ! Senang betul saya bisa menyelesaikan buku sepagian sebelum ke kantor 😊 (Tentu saja setelah bisa fokus karena HP mendadak mati kwkwk). 

Tema dari buku ini sendiri sangat menarik, yaitu menyoroti polah tingkah generasi muda (zaman 1960an) yang berpendidikan tinggi, namun tak kenal pada kerja keras dan enggan mengabdikan diri kecuali bergaji tinggi. Ilmu hanya menjadi perhiasan baginya, tak hendak digunakan untuk manfaat orang banyak. Pandai membaca buku, namun tak pandai membaca masyarakat.

Kisah ini dimulai dengan mengisahkan Syamsiar, perempuan lulusan sekolah menengah agama. Setelah empat tahun menempuh pendidikan di kota, akhirnya ia pulang ke kampung halaman nya dengan membawa diploma. Dia belum kunjung bekerja walaupun setelah beberapa lama lulus, karena pekerjaan yang ditawarkan kepadanya tak cukup besar gajinya. Maka tinggal saja lah ia di rumahnya nan gadang itu. Namun agaknya kehidupan di kampung tak memuaskan hatinya. Ia merasa sudah berilmu tinggi, sedang orang kampung hanya tau berladang dan membajak sawah. Pikiran nya sering merana memikirkan masa lalunya , terkenang - kenang akan guru-guru serta kawan-kawan nya semasa sekolah. Ia sering mengurung diri di kamar, hanya sekedar membaca buku , yang rupanya bukanlah kitab-kitab agama, namun hanya novel cinta belaka.Segala ilmu ia pelajari , entah itu nahwu, nafs, namun ada ilmu yang tak ingin dipelajarinya yaitu ilmu memasak ( *jleb, ampuni akuu) . Ia merasa terlalu tinggi untuk berada di dapur. Segala urusan dipandangnya remeh, kecuali pada acara perkumpulan kampung yang mana kadang ia mendapat tempat untuk berpidato. Mungkin dalam pikirnya, kata-kata saja bisa membuat perutnya kenyang. Singkatnya, ia adalah perempuan berpendidikan yang manja dan hanya mengenal buku saja, bahkan pakaian pun adik nya yang mencucikan.

Singkat cerita, Syamsiar yang sudah menghidupi hatinya dengan cinta dalam definisi novel-novel yang dibacanya, hanya ingin menikah dengan pemuda pergerakan yang atas dasar cinta yang menggebu. Lagi pula, pemuda kampungnya enggan melamarnya, bukan karena ia tak cantik, tapi karena ia terlalu pintar. Bagaimana lah lelaki itu ? Ia tak ingin beristrikan perempuan bodoh, tapi pada perempuan pintar dia tak mau jua. Akhirnya tersiar kabar di kampung lain ada seorang pemuda yang mengajar anak-anak di kampungnya dalam pondok pesantren nya yang sederhana namun lebih modern. Pemuda itu Hasan namanya, sangat dihormati dan disayangi masyarakat . Awalnya, Hasan juga seperti Syamsiar, hanya mau bekerja jika digaji tinggi. Maka ia pun berkeliling dari daerah ke daerah, bahkan sampai ke Aceh. Namun kemudian dia insyaf bahwa hanya ada sedikit guru dan namun ada sangat banyak anak anak yang perlu dididik, dan mereka tak punya cukup biaya untuk menggaji gurunya dengan layak. Akhirnya ia memutuskan pulang ke kampung halaman nya dan mendirikan Pesantren. 

Syamsiar akhirnya menemukan lelaki impian nya, dan mereka pun menikah. Betapa bahagianya ! Namun kebagahiaan itu tak bertahan lama, sebab lama kelamaan Hasan menyadari betapa bedanya pandangan mereka berdua tentang kebahagiaan itu sendiri. Bagi Syamsiar, hidup bergantung kepada keluarganya : makanan yang selalu siap sedia, pakaian yang dicucikan oleh adik-adiknya, dan dirinya yang tak memikirkan apapun selain berdandan dan bermanja dengan suaminya adalah kombinasi kebahagiaan ! Baginya, rumah tangga mestilah demikian. Memupuk cinta , bercanda ria dengan pasangan setiap saat ! Hanya itu saja cita-cita pernikahan nya. Menikah untuk bersenang-senang.  Tapi bagi suaminya, Hasan, hidup bergantung kepada keluarganya hanyalah seperti hidup dalam sangkar. Dan sangkar tetaplah sangkar meskipun ia terbuat dari emas. Dalam pikiran nya sibuk memikirkan murid-muridnya, kemajuan pesantren nya, namun istrinya terus saja mengganggunya, tak memberinya waktu untuk segera memeriksa pekerjaan murid-muridnya. Istrinya pun mulai bertingkah aneh, terus saja menempel padanya, apalagi jika ia mengisi pengajian yang audiens nya adalah kaum ibu. Pada awalnya Hasan masih memaklumi dan meladeni istrinya, sampai akhirnya pesantren nya mulai terbengkalai, dan murid-muridnya mulai menghilang. Akhirnya Hasan memutuskan untuk mengatakan pikiran nya pada istrinya.

"Kau tahu, kita mendirikan rumah tangga untuk hidup, bukan untuk berbujuk cumbu. Kalau hanya begini sja keadaan kita, tentu akhirnya kita akan hilang dari gelanggang penghidupan, padahal banyak ilmu yang kita tuntut selama ini. Kau hanya mempunyai satu kepandaian saja rupanya, yaitu bercinta-cinta, tetapi kau tak pandai menjaga keberesan pekerjaan kita. Kau tidak menunjukkan kepada kakanda, jalan manakah yang lebih selamat untuk kita tempuh."

Saya sengaja mengutip perkataan Hasan tersebut sebagai bahan pengingat bahwa pernikahan itu lebih dari sekedar tentang cinta, tapi ia juga tentang hidup, tentang menyelaraskan visi, tentang saling mendukung dan menoleransi .

Namun ternyata hal itu berbuntut panjang, karena kata kata tersebut Syamsiar terjemahkan sebagai sirna nya cinta Hasan padanya. Hasan yang mulai jarang pulang dan memilih menginap di Pesantren membuat Syamsiar kesepian, sehingga dia mulai berbuat melenceng dengan menyurati lelaki lain. Lama kelamaan hal ini diketahui Hasan yang mencoba bersabar dengan tabiat istrinya. Namun agaknya tak tertahankan baginya, akhirnya Hasan menceraikan Syamsiar.

Di akhir cerita, penulis mengisahkan bahwa akhirnya Syamsiar terpaksa menerima pinangan Saudagar kaya yang usianya sebaya dengan ayahnya, sebagai istri yang ke tiga. Lara hatinya mengenang kehidupan nya yang dulu , namuan beberapa tahun kemudian, ia mulai menerima takdirnya..

Komentar