Sambutan Awal Tahun : Mengenal Banjir Jakarta

Saat itu hari pertama di tahun 2020. Rintik hujan masih turun, membawa pergi bau kembang api yang tak seberapa banyak dibanding tahun sebelumnya. Panggung-panggung besar barangkali belum dibereskan, sedang jejak jejak kaki manusia yang merayakan revolusi bumi penuh itu masih terlihat.
Sedangkan di samping rumah kontrakkan kakakku, sisa sisa tulang ayam dan ikan mas berserakan di sekitar tempat sampah. Rupanya kucing-kucing kampung itu juga ikut mendapatkan bagian dari acara bakar-bakar sederhana bersama tetangga tadi malam. 

Aku sedikit terkejut ketika ponselku memberi kabar bahwa beberapa kawasan di dekat kami tinggal terendam banjir. Bagaimana mungkin ? Hujan tak sederas itu kupikir, atau aku yang tak mendengar ? Menurut kakakku, hal itu terjadi karena kawasan itu mendapat "banjir kiriman" dari Bogor. Tapi berita banjir itu tak banyak mencuri perhatianku. Sejak lama kami tahu bahwa ibukota mengalami banjir tiap tahunnya, meskipun aku sadar bahwa kali ini banjir terasa datang lebih cepat. Bukankah puncak musim hujan biasanya d bulan kedua di setiap tahun? Bukankah genangan air itu baru akan muncul di bulan Februari ?

Atasanku yang sedang berlibur menelepon, sedikit panik suaranya, memintaku untuk merescue beberapa dokumen penting yang ada di kantor yang berdekatan lokasinya dengan daerah yang terkena banjir parah. Tiga hari setelah banjir parah tersebut, aku dan beberapa kawan dari remaja masjid menengok posko Darussalam peduli banjir di daerah Vila Nusa Indah I Bekasi (salah satu perumahan yang terdampak banjir cukup parah). Saat itu banjir telah surut, nampun bekasnya masih sangat terlihat. Warga yang terdampak banjir tengah sibuk membersihkan rumah mereka. Barang seisi rumah terlihat memenuhi halaman rumah, beberapa telah dibersihkan dan beberapa masih penuh lumpur. Sebuah mobil bak mengangkut sebuah mesin cuci baru, sedang mencari alamat yang membelinya. Dibeberpa jalan msih tertutup lumpur yang cukup tebal, aku berdoa temanku tak oleng melajukan motornya.

Lalu tak sengaja aku menemukan tulisan yang menjelaskan tentang banjir ibukota ini dari twitter. Bahasanya sederhana dan mudah dimengerti. Dimulai dengan memperkenalkan sistem sungai di Jakarta. Dikatakan bahwa Jakarta adalah hilir dan muara dari banyak sungai yang mempunyai hulu di kawasan Puncak Bogor. Jadi, secara alamiah Jakarta adalah floodplain (morfolologi hilir yang berupa dataran yang pasti akan kebanjiran jika debit air tinggi. Banjir di Jakarta ada dua jenis, yaitu banjir kiriman dan banjir lokal. Banjir kiriman adalah konsekuensi jika terjadi hujan besar di area hulu dan air mengalir ke hilir. Jika air yang terserap (infiltrasi) di area hulu cukup banyak, artinya air yang mengalir (run off) ke hulu berkurang. Di daerah hulu memiliki efektivitas penyerapan yang sangat tinggi jika berada pada kondisi ideal, yaitu jika hulu berupa hutan. Tapi bagaimanakan hulu sungai Jakarta ?

Seperti yang telah ditulis sebelumnya, bahwa hulu sungai-sungai di Jakarta berada di kawasan Puncak, Bogor. Kita tahu hari ini, karena termasuk kawasan wisata yang sangat populer di Jabodetabek, maka banyak terjadi alih fungsi lahan menjadi kawasan perumahan, vila, atau perhotelan. Hal tersebut mengurangi kapabilitas hulu untuk menyerap air sehingga lebih banyak yang run off ke Jakarta. Beberapa solusi yang dapat diterapkan di area hulu adalah mengembalikan area hulu DAS menjadi hutan kembali, pembuatan bendungan untuk meregulasi air yang masuk ke Jakarta dan memperbanyak kolam kolam retensi, pembangunan infrasturktur recharging air tanah untuk meningkatkan efektivitas penyerapan air. Intinya di bagian hulu harus sesedikitmungkin mengalirkan air (run off) dengan cara infiltrasi maupun penampungan di bendungan, kolam retensi, danau ataupun waduk.

Namun menurut BPPT, banjir kiriman 'hanya' berkontribusi sekitar 30% dari banjir Jakarta karena hanya akan berdampak pada daerah floodplain. Sehingga dikatakan banjir lokal lah penyumbang terbesar sesungguhnya. Banjir lokal dapat disebabkan oleh beberapa hal, misalkan curah hujan yang cukup tinggi, drainase yang buruk, serta land subsidence yang menyebabkan air terperangkap dan tidak mudah mengalir.

Ternyata dugaanku sebelumnya salah. Kupikir hujan di malam itu hanya gerimis saja. Nyatanya di banyak lokasi lain, curah hujan malam itu melebihi maksimal curah hujan kala harian 1000 tahun yang diprediksi dengan kurva Gumbel. Ini adalah dampak nyata dari perubahan iklim bukan ?
Ternyata drainase di bumi Jakarta sulit menghantarkan air kemanapun, karena sampah dan mengalami pendangkalan sedimen. Sehingga kapasitas penyimpanan berkurang dan air akan meluber. Sampai di sini , solusi yang didapatkan adalah lebih memperhatikan pemeliharaan drainase, memperbanyak frekuensi pengerukan sampah dan sedimen. Masyarakat seyogyanya semakin menyadari untuk tidak membuang sampah sembarangan.

 Banjir lokal diperparah dengan adanya land subsidence atau penurunan tanah sehingga banyak terbentuk cekungan yang menyebabkan air sulit mengalir. Penyebab utama dari land subsidence ini adalah eksplotasi besar-besaran terhadap air tanah. Pemakai air tanah tersebsar adalah apartemen, perhotelan, dan industri. Diharapkan regulasi berkaitan dengan air tanah ini dapat diperjelas. Untuk daerah dareah land subsidence maka solusi yang ditawarkan adalah ketersediaan dan kesiapan pompa yang akan mengalirkan air ke laut.

Beberapa solusi lain untuk penanggulangan  di daerah hilir (Jakarta) selain normalisasi sungai (peningkatan kapasitas sungai untuk menyimpan dan mengalirkan air), naturalisasi (mengembalikan sungai ke keadaan alaminya), sistem pompa dan sistem polder adalah coastal reservoir (waduk lepas pantai), underground reservoir (tampungan bawah tanah), sodetan ciliwung-BKT serta solusi lain yang bersifat kelembagaan dan regulasi.

Untuk lengkapnya, baca dari thread twitter @pemudajawa (Bintang R Wananda) ya !

Aku menulis ini karena bersyukur sedikit mengetahui apa penyebab banjir di daerah Jakarta itu. Terima kasih untuk yang bersedia bersusah payah membuat thread dengan bahasa yang sederhana :)


Komentar