Aku, Dia, dan Nasi Kuning

Tikar-tikar digelar diatas rumput sebuah halaman villa kecil.. Itu sudah tengah hari, tetapi kami -aku dan teman-teman akhwat- sepakat untuk menikmati makan siang di halaman. Maklum, suasana lembang yang dingin dan sedikit mendung menggoda kami untuk duduk beratapkan langit. Kawan - kawan mulai membawa nampan-nampan berisi menu siang itu. Berbagai tumis sayur dan daging ayam. Aku melihat wajah-wajah sumringah, antusias menyambut menu siang itu. Aku sendiri sudah senyum senyum sedari tadi, menunggu semua orang mengisi piringnya, untuk kemudian berdoa bersama.Sampai akhirnya aku menoleh pada makanan yang ada di piring teman dekatku.. Nasi kuning. Menu yang sama seperti sarapan tadi pagi.. 

“Kamu suka sekali nasi kuning ya ?” Tanyaku polos. Dia tersenyum dan menjawab ringan , “Tidak juga.. tapi nasi kuning sisa tadi pagi masih banyak, sayang kalau sampai mubazir..”

Aku tertegun mendengar jawaban nya. Aku girang sekali sewaktu tau menu siang itu bukan nasi kuning (lagi).. Barangkali dia juga menyukai menu siang itu, tapi dia tau orang orang tak akan lagi menyentuh nasi kuning yang tersisa pagi tadi, dan karena tak senang melihat makanan tersiakan, dia menekan egonya..

Aku menunduk memandang piringku dan piring-piring teman -teman lain yang “meriah” dengan menu siang itu..Dan menoleh lagi padanya, pada wajah teduh nya, pada isi piringnya yang sederhana.. Aku menemukan kerendahan hatinya, kesederhanaan nya, kedewasaan nya.. Ini perkara yang sederhana sekali, kejadian nya pun sudah dua tahun yang lalu, tapi membekas sekali di hati sampai saat ini..
 Cantik sekali dia. Cantik sekali sahabatku itu. 

Komentar