Jangan Mendahului Takdir

Aku menatap dua puluh dua anak adam yang bergerak acak memfokuskan diri pada benda bulat berwarna putih. Seharusnya separuh nya terlihat berkaos merah, dan separuhnya berkostum putih. Dalam hati aku tertawa, seperti bendera Indonesia yang sedang bertengkar, eh ? Aku tak mengenali satupun manusia-manusia berkaos putih itu, tapi komentator berkata bahwa mereka mewakili Indonesia, maka segera saja aku memihak mereka.
Indonesia dan Vietnam sama sama mengincar kemenangan agar lolos dari grup B. Namun, kehilangan Evan Dimas ( konon sangat terkenal tapi tidak cukup terkenal untuk aku mengingat wajahnya haha ) membuat serangan ke gawang lawan tak begitu tajam, apalagi di babak ke dua. Tim Merah-Putih  yang berkostum putih dan menghadapi merah (lucu kan), seakan dipaksa bertahan. Penyelamatan -penyelamatan kiper cukup keren.  Tak terhindarkan gesekan terjadi di sana sini hingga wasit menjadi begitu pemurah pada Indonesia. Kartu kuning demi kartu kuning diacungkan di depan timnas kami. Memang pantas, batinku. Tapi kesal juga rasanya melihat pemain kami terguling-guling di rumput karena gesekan dengan si merah, namun seakan wasit amnesia kalo dia bisa memberikan kartu kuning. Dan berulang kali, si merah hanya mendapat teguran keras. Ok fix, dua kalimat sebelumnya adalah refleksi baper. 


Dan tibalah saat itu. Ketika benturan demi benturan tak terhindarkan, seorang pemain bernama Hanif Syachbandi (wow inget, iyalah soalnya nama keponakan aku Hanif) mendapat dua kali kartu kuning.. Dan kupikir, dengan jumlah pemain berimbang pun Vietnam sudah terasa ganas, apa kabar kalau tim garuda hanya ber sepuluh ? Beberapa menit kemudian, musibah lain datang, seakan bermain dengan jumlah yang lebih sedikit tidak meresahkan, sang kiper utama yang setelah bermain beberapa puluh menit dinobatkan oleh komentator (dan saya sendiri) sebagai hero of the match dinyatakan tidak mampu meneruskan pertandingan.. Ya Allah.!Habis lah sudah. Pikir ku. Ini adalah ketidakberuntungan beruntun. Bermain dengan sepulh pemain ditambah tidak menggunakan penjaga gawang utama ? Kamera menyorot sesosok wajah berkulit sawo matang yang sedang melakukan streching sambil menatap lapangan, sang penjaga gawang cadangan. Dari layar kaca, aku menatap wajah itu. Kurang meyakinkan, pikirku. Sulit bagiku membayangkan orang itu bermain sebaik kiper utama. Maka aku segera mencari penghiburan diri, mengingat ngingat hal apa sekiranya yang membuat hati lebih tenang. Lalu suara Ust Hannan muncul di otak ku.
“Perkara seorang muslim itu selalu baik. Jika dia mendapat nikmat maka dia bersyukur dan itu baik baginya. Jika dia mendapat musibah maka dia bersabar dan itupun baik baginya.”
Tidak perlu terlalu khawatir, apapun yang terjadi, itu pasti baik untuk Indonesia, gumamku dalam hati. Aku kembali duduk dan menabahkan diri melanjutkan menonton dalam kepasrahan yang damai. Menit demi menit berlalu. Pertandingan semakin seru dan membuktikan satu hal : kiper cadangan pun bermain sangat baik, sangat baik. Dia melakukan penyelamatan-penyelematan yang sangat bagus. Dia bahkan menyemangati teman-teman nya yang terjatuh lemas ketika tendangan yang mendebarkan berhasil diselamatkan sang kiper kedua. Aku pun berteriak perlahan sambil tepuk tangan sepelan yang aku bisa, ingin menyemangati tapi takut suara ku sampai terdengar tetangga. 
Vietnam bertambah ganas, walaupun Indonesia bermain cukup baik dan disiplin, diam-diam kami semua sepakat target telah bergeser, bukan lagi kemenangan . Semakin sering tim medis memasuki lapangan karena ada pemain yang mengerang berguling-guling. Si merah masih memborbardir,  namun Indonesia masih tabah. Babak perpanjangan waktu selama 5 menit serasa 5 tahun, namun Tim Garuda berhasil melalui nya dengan baik. Permainan yang sangat disiplin !
Akhirnya skor kacamata bertahan sampai akhir pertandingan. Kacamata yang berbeda. Kacamata yang dipandang sebagai kekalaha oleh si merah, dan merupakan kemenangan yang dibanjiri “terima kasih” oleh supporter si putih.
Dan saat itulah saya menyadari. Saya telah berprasangka buruk pada Allah, tepat ketika kartu merah itu hadir, tepat ketika kiper utama tak lagi mampu bermain. Kami berprasangka untuk semua ketidakberuntungan itu. Bahwa sering sekali kita mengeluh akan semua masalah yang ada, lalu berprasangka buruk pada Allah. Kadang kita terlalu mementingkan realitas hingga lupa untuk percaya kepada Allah.. Berprasangka buruk pada Allah hanya berdasarkan realitas yang nampak hari ini.. Menyangka semua luluh lantak oleh hujan, padahal Allah hendak memberi pelangi.. Berprasangka baiklah pada Allah, kita tidak pernah tau masa depan..
Lalu kata-kata Andrea Hirata memenuhi kepala saya : Jangan mendahului Takdir !! 


Sumber gambar : http://id.pinterest.com/pin/505951339379785828/



Komentar